Pembicaraan tentang cyberspace sering didasarkan pada premis bahwa bentuk awal subyektifitas yang disebut modernisme subyektifitas, sering terganggu, tersebar, atau digandakan, dan bentuk cyberspace yang paling representatif. Mengikuti penolakan poststrukturalis tentang metanaratif dan esensialisme, subyektifitas cyber yang dilahirkan diluar masa postmodernis, ini dimasukkan dengan janji-janji kebebasan untuk menghancurkan yang lama dan membuat yang baru. Sebagai referensi utama dalam argumen ini adalah bahwa situasi komunikasi yang didukung oleh cyberspace akan mengurangi bentuk-bentuk identitas dalam kehidupan nyata hanya menjadi tanda-tanda yang beterbangan dengan bebas dalam transmisi dan pertukaran pada net.
Mark Taylor dan Esa Saarinen secara singkat mengatakan pada prinsip dasar dari subyektifitas cyber: “Dalam cyberspace, saya dapat mengubah diri saya sendiri semudah saya berganti pakaian. Identitas sepenuhnya plastik dalam sebuah permainan kesan-kesan yang tidak mengenal batas. Dengan selalu menggantikan segalanya, seseorang bukanlah seseorang. (Gibson,1995 Hal:67) jika subyektifitas lebih banyak memiliki kebebasan dalam cyberspace daripada dalam kehidupan nyata, ini sangat tergantung pada kerusakan dan perkalian dari identitas lama sebagai hal yang koheren dan homogen dalam satu bagian yang terpisah dan heterogen. Hubungan antara subyektifitas dan identitas adalah jelas. Mark Psoter membagikan perilaku yang sama, yang mengindikasikan bahwa: Jika modernitas atau model produksi menandakan praktek-praktek yang menunjukkan identitas sebagai hal yang otonom dan rasional, postmodernitas atau model informasi mengindikasikan praktek-praktek komunikasi yang menganggap subyek sebagai hal yang tidak stabil, berganda, dan menyebar. (Gibson,1995,Hal: 123) Retorikanya banyak memiliki kesamaan. Bagaimanapun juga, cara dia menyanggah untuk cyberspace pada penentuan identitas baru dan, subyektifitas hanya disesuaikan dengan penganggapan awal dari sebuah identitas koheren yang monolitik dalam waktu-waktu awal yang harus dibuat dan dimanipulasi dalam periode postmodernis atau post human. (Julie Pierce, Touch: Wetware, Ubicom, and Nanotech). Pendapat tentang identitas lama ini sebagai sebuah hal yang koheren dan konsisten tidak lebih dari hanya sekedar sebuah penempatan dari anggapan awal postmodernis. Meskipun identitas modernis cukup stabil, masihlah sulit untuk menyanggah bahwa ini secara sempurna tidak berbentuk dan seluruhnya bersifat kohesif tanpa segala kebocoran dan gangguan. Identitas, dalam pandangan umum, adalah hasil dari identifikasi proses-proses yang didapat oleh orang-orang pada sebuah basis komunal. Jika subyektifitas sangat berhubungan erat dengan dan bahkan sama dengan identitas, yang akan disanggah, hal ini memiliki alasan untuk mempercayai bahwa masyarakat adalah faktor penunjang dalam pembentukan identitas dan subyektifitas. Mengikuti hal ini, orang-orang dalam periode modernis tidak akan pernah mengambil bagian dalam atau hanya menjadi bagian satu masyarakat saja, tapi banyak masyarakat, yang beberapa diantaranya mungkin dapat berada dalam konflik dengan yang lain.
Mempertimbangkan perbedaan identitas-identitas seseorang dapat dilakukan secara bersamaan dalam satu keluarga, negara, suku, kelas, dan gender, sebuah identitas koheren monolitik menyerupai sebuah penemuan postmodernis. Obsesi ini dengan identitas dalam pemikiran cyber-subyektifitas, bagaimanapun juga, tidak dapat dipahami.
Arus bebas dari informasi yang dikembangkan oleh dan direalisasikan dalam cyberspace memberikan sebuah jaminan penuh pada cara-cara baru pembangunan masyarakat, yang diharapkan untuk menjadi berbeda dari yang ada dalam kehidupan sebenarnya. Taruhan terbaik adalah bahwa masyarakat cyber akan terhindar dari segala kekurangan dari masyarakat-masyarakat tradisional (seperti hirarkisasi, kirokrasi, pengeluaran pendeknya, kekuatan dalam bentuknya yang sangat terpusat), dan menyisakan bagian yang baik dari mereka dan bahkan dapat memperoleh bahwa yang lama tidak pernah bisa memusatkan struktur-struktur kekuatan).
Penekanan pada identitas komunal baru ini, yang dikembangkan oleh cyberspace menghasilkan harapan-harapan yang tinggi untuk pembuatan subyektifitas baru.
William J Mitchell dalam bukunya City of Bits menyebutkan ; Cyberspace sebagai hal yang secara elektronik memasukkan dan mengisi pendapat agora yang meningkat secepat Aristole dalam politik. Hubungan cyberspace dengan agora ini, yang sebenarnya sebuah ruang publik untuk komunikasi komunal adalah untuk melakukan praktek-praktek politik yang bersemangat, secara jelas menunjukkan orientasi sosio politik dalam pembahasan cyberspace.
Apa yang dapat dibawa oleh informasi bebas, perkataan bebas, dan pertukaran bebas dari pendapat dalam cyberspace dengan menciptakan bentuk-bentuk masyarakat baru dan juga identitas-identitas dalam hal ini, adalah subyek-subyek sipil yang lebih baik. Dasar revolusioner dari cyberspace seringkali diterima oleh pembicaraan-pembicaraan yang mengilhami semangat postmodernis yang tepat terletak di sini. Banyaknya identitas-identitas dan subyektifitas yang menyebar (sebagai perwujudan dari kebebasan sosial politk) adalah kekuatan-kekuatan inti bagi mereka untuk menanggap identitas tetap dan terpusat dari waktu-waktu sebelumnya. Kemudian kelebihan subyektifitas dengan identitas komunal ini akan mengarahkan pada sebuah aporia pembicaraan-pembicaraan yang menyenangkan tentang apa yang harus dihadapi oleh cyberspace. Jika subyektifitas yang menyebar dalam disintegrasi total adalah sebuah nilai kebenaran yang diterima dalam cyberspace, subyek yang mengambil bagian dalam segala masyarakat virtual akan sulit memperoleh identitas. Bagaimana sebuah kelompok subyek yang terpecah, menyebar, disintegrasi dapat melaksanakan identifikasi untuk mencapai sebuah identitas yang memungkinkan? Yang terbaik, apa yang dapat mereka kerjakan hanyalah sebuah identitas dari non-identitas. Jika sebuah identitas komunal adalah memungkinan untuk mencapai subyektifitas, maka subyektifitas ini tidak akan sepenuhnya menyebar dan tidak bersatu. Kemudian, hubungan subyektifitas dan identitas dalam konteks postmodernis ini tidak lebih dari sebuah oxymoron, sebuah aporia.
Aspek sosial politk dalam pemikiran subyektifitas cyber dipusatkan dengan peran yang dimainkan oleh masyarakat. Bagaimanapun juga, ketika hubungan antara orang dengan personal kembali ke persepsi subyektifitas yang menyebar, dalam cyberspace (Taylor dan Saarinen,1995,hal:8), karakter dari permainan (juga sangat ditekankan oleh postmodernisme) dalam menganggap topeng-topeng yang berbeda maka akan mengganggu segala sosialisasi yang terpengaruh dalam cyberspace dan pemakaian yang sesuai dari masyarakat-masyarakat virtual. Setelah beberapa halaman yang memberikan kredit yang penuh untuk dasar permainan subyektifitas cyber ini. William J Mitchell memberikan penjelasan yang menarik dalam sebuah catatan dua kasus dari peran ini yang sangat dikecam dalam net setelah identitas-identitas yang sebenarnya dari protagonis terungkap. Julian Stallabrass juga menunjukkan bahwa identitas yang banyak pada dasarnya berjalan bertentangan dengan segala anggapan dari sebuah masyarakat yang utamanya berdasar pada komunikasi yang jujur. Ketika orang diperbolehkan bertindak tidak jujur dalam komunikasi-komunikasi komunal, bagaimana sebuah kelompok yang rasional yang diperlukan untuk sebuah agora dapat tercapai ? Identitas yang banyak dalam hal ini bahkan menanamkan analogi pada Gangguan Kepribadian Ganda(GKG) dalam psikoterapi. Saat pemikiran Cartesian mendapatkan perasaan menjadi sebuah subyek dengan menahan kekuatan untuk merefleksikannya pada dirinya sendiri, untuk mewakili dirinya dan dunia bagi dirinya (“Saya pikir, atau mewakili diri saya sendiri), dan menjaga substansi yang dan tidak merubahnya seiring dengan berjalannya waktu, seorang pasien GKG dalam hipnotis menunjukkan sebuah cogito tanpa ego, “Sebuah subyek total dengan tingkat kesadaran nol dipakai oleh kesementaraan untuk selalu ada, yang menggolongkan dunia dan juga dirinya sendiri. Dari Saya pikir, (maka) Saya ada menjadi Saya berubah, maka saya ada, GKG, dalam bekerja dengan identitas-identitas personal yang bertentangan, menghalangi jalan menuju segala pembentukan ego yang permanen. Ketidakadaan ego ini hanya dapat mengekspresikan dirinya sendiri dalam inflasi ego yang ekstrim. Subyek modern sebagai sebuah warisan dari pemikiran Cartesian kemudian dirubah dan tersebar, yang menuju ke jalan untuk terwujudnya identitas ganda dan subyektifitas yang menyebar. Bagaimanapun juga, tidaklah sulit untuk melihat dalam hipnosis, dimana subyek diterjunkan, di sana muncul sebuah keadaan pre-representasional, dimana didalamnya tidak terdapat ego, tidak terdapat diri sendiri, tidak ada subyek, tidak ada kesadaran, tidak ada waktu, dan tidak ada realita material, dan dimana di dalamnya identitas-identitas dalam menggandakan diri sampai tak berujung. Sebuah imajinasi yang sangat radikal akan diperlukan bagi kita untuk mempercayai bahwa sebuah masyarakat komunal adalah memungkinkan berdasarkan pada keadaan hipnosis ini. Pembicaraan-pembicaraan tentang identitas ganda dan subyektifitas yang menyebar dalam pemberdayaan masyarakat-masyarakat virtual secara politik harus menghadapi aporia ini antara teori dan praktek. Jika tidak, maka akan selalu ada bahaya akan totalisasi dan pengembangan segala permainan dalam identitas dan subyektifitas untuk melampaui normal-normal tradisional yang juga sama bebas dan menjanjikannya; jika demikian, semua retorik tidaklah lebih dari sebuah lip-service tanpa hubungan yang nyata pada sosialisasi.